Menemukan Jalan Untuk Tetap Hidup Bukan Bertahan Hidup

Ada satu pengalaman berharga mengenai bertahan hidup yang kupelajari bahkan sebelum aku mengenal bagaimana sesungguhnya hidup itu. Seingatku, aku masih berusia sekitar 8 atau 9 tahun ketika itu dan Papa masih bekerja sebagai nahkota kapal tandu yang bertugas menarik kapal-kapal besar dari lautan agar bisa merapat ke dermaga di Banjarmasin. Aku belum benar-benar bisa berenang, tapi tergila-gila dengan sungai dan lautan. Mungkin karena rumahku tepat di depan sungai Martapura. Tapi bisa juga karena sejak bisa berjalan, Papa sudah terlalu sering mengajakku bermain-main di air.

Hari itu hari libur. Papa mengajakku ikut bersamanya naik kapal tandu agar aku bisa menemaninya bekerja. Karena kapal terlambat datang, jadilah sore itu kami menunggu dengan sabar. Mesin kapal dimatikan. Papa menurunkan jangkar. Dan kami duduk di dek depan, membiarkan lautan mengayun-ayun kami dalam ritme yang menenangkan. Papa duduk di sampingku, memainkan lagu-lagu favoritnya dengan harmonikanya. Saat Papa asyik dengan harmonikanya, aku berulang kali menjulurkan kepala ke lautan, memikirkan hal lain.

“Sedalam apa lautan ini, Pa?” tanyaku akhirnya, karena di dalam otakku yang masih minim pengetahuan, aku tak bisa menemukan berapa tepatnya dalamnya lautan yang sekarang aku arungi.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Papa malah menyuruhku melompat dari atas kapal tandu. Permintaan Papa itu jelas aku tolak. Aku tak bisa berenang. Belum bisa, maksudku. Papa diam saja, meletakkan harmonika, kemudian berdiri. Kupikir, ia akan segera menjawab pertanyaanku. Tapi yang terjadi selanjutnya benar-benar tak kusangka.

Papa melempar tubuhku ke laut! Cukup jauh jaraknya dari posisi kapal yang masih berayun-ayun. Aku berteriak nyaring karena terkejut dan takut. Sementara dari atas kapal, Papa juga ikut berteriak, “Gerakkan kaki dan tanganmu. Jangan diam. Jangan bertahan. Kamu harus bergerak!” Teriakan itu sayup-sayup kudengar dalam posisiku yang timbul tenggelam.

Aku mencoba menggerakkan kaki dan tanganku. Mengingat pelajaran berenang yang akhir-akhir ini memang sering kulakukan bersama Papa. Bergerak. Ayo, bergerak! Aku menggaungkan kata-kata itu dalam kepalaku. Memaksa kedua tangan dan kedua kakiku untuk bergerak mendekati kapal. Sesekali tenggelam. Lalu dorongan dua kaki yang bergerak kembali membuat tubuhku timbul. Mataku perih. Air mata bercampur air asin memburamkan keduanya. Tapi aku tetap berusaha bergerak. Aku kan hanya ingin tahu dalamnya laut, bukan untuk mati tenggelam di laut. Kurang sedikit lagi. Sedikit lagi, raungku dalam kata-kata acak di dalam kepalaku. Nyatanya, aku tak kunjung mencapai kapal. Akhirnya Papa melompat. Menangkap tubuhku yang perlahan tertelan lautan, kemudian membawaku kembali menaiki kapal.

Aku menangis, sekaligus lega, karena Papa tak sungguh-sungguh membuangku ke lautan. Papa hanya ingin aku mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaanku.

Papaku kejam? Dulu, aku pun berpikir begitu karena sulit bagiku merasakan kasih sayangnya dibalik tindakan-tindakannya yang membuatku “merana”.  Kejadian “dilempar” ke lautan cukup traumatis buatku untuk beberapa saat, tetapi di saat yang sama kejadian itu pula yang memacuku untuk cepat bisa berenang, berjaga-jaga kalau suatu hari dilempar ke lautan lagi, aku sudah bisa berenang.

Hingga menginjak usia remaja, aku masih berpikir kejadian itu adalah cara Papa untuk mengajariku mencari tahu segala sesuatunya sendiri. Sesudah masuk ke dunia kerja dan mendapati ada lebih banyak “kejadian kejam” dalam kehidupan, aku akhirnya sadar. Papa tidak mengajariku untuk mencari tahu sendiri dalamnya lautan. Papa mengajariku untuk mencari jalan, demi menemukan jawaban, demi bisa terus hidup, demi melanjutkan perjalanan di dunia yang tak pernah bisa ditebak.

Ya, Papa mengajariku cara menemukan jalan untuk tetap hidup, bukan bertahan hidup. Caranya tentu saja dengan terus bergerak!

Note: foto pinjam di https://www.pexels.com