Ketika Aku Pulang Sambil Menangis

Seminggu yang lalu aku pulang ke rumah sambil menangis. Seragamku kotor. Tanganku luka-luka. Ibuku yang sudah menunggu di depan pintu tercengang melihatku. Lalu ia bertanya, “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?”

Masih dengan sisa tangis di tenggorokanku, aku menjawab, “Temanku mengajakku bermain ke lembah. Katanya di sana aman. Jadi aku pun ikut dengannya.”

“Apakah kamu sungguh yakin di sana aman?” Ibuku bertanya dengan dahi berkerut.

Ah, Ibuku itu seperti cenayang. Ia selalu tahu kalau ada yang kusembunyikan. Jadi mau tak mau aku berbisik dengan kepala tertunduk, “Tidak. Di sana ada jurang. Aku sudah tahu dan tetap ikut dengannya. Akibatnya, hari ini aku jatuh dan terluka.”

“Apakah temanmu itu juga tahu kalau di sana ada jurang?” Aku menganggukkan kepalaku untuk pertanyaan Ibuku yang satu ini. Mulutku terkunci begitu melihat rasa tak suka berkelebat di kedua matanya. Kemudian Ibu melanjutkan kata-katanya, “Teman yang baik tak akan mengajakmu “ke jurang”!”

Tiga hari yang lalu, aku pulang ke rumah sambil menangis. Lagi-lagi seperti biasanya, Ibu sudah menungguku di depan rumah. Wajahnya sedikit cemberut ketika ia bertanya , “Kenapa lagi kau menangis?”

“Temanku mau mengambil barang kesukaanku,” isakku.

“Apakah temanmu itu merebutnya darimu?”

Aku menggeleng sambil menahan isak, “Tidak. Ia tidak merebutnya. Ia berusaha mengambilnya perlahan. Diam-diam. Tapi aku tahu karena tak sengaja sedang melihatnya berusaha mengambil barang kesayanganku itu.”

“Teman yang baik tidak akan melakukan hal itu. Harusnya kau tak usah berteman dengannya.”

Hari ini aku pulang sambil menangis. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya berani mengadu pada Ibu. Jadi sebelum ia bertanya aku langsung bercerita, “Ibu, hari ini aku sedih sekali. Temanku ternyata suka berbohong dan semua cerita bohongnya hari ini kuketahui. Sakit sekali rasanya dibohongi, Bu. Aku tak suka dibohongi, jadi aku meninggalkannya. Tetapi tetap saja, rasa sayangku padanya tetap ada meski ia telah berkali-kali membohongiku.”

Ibu yang tadinya sedang berlutut meronce rosario menghentikan gerak tangannya dan berdiri, kemudian memelukku. Persis di telingaku ia berbisik, “Suatu hari nanti, kau akan menemukan teman yang sesungguhnya. Percayalah padaku.”

 

Menemukan Jalan Untuk Tetap Hidup Bukan Bertahan Hidup

Ada satu pengalaman berharga mengenai bertahan hidup yang kupelajari bahkan sebelum aku mengenal bagaimana sesungguhnya hidup itu. Seingatku, aku masih berusia sekitar 8 atau 9 tahun ketika itu dan Papa masih bekerja sebagai nahkota kapal tandu yang bertugas menarik kapal-kapal besar dari lautan agar bisa merapat ke dermaga di Banjarmasin. Aku belum benar-benar bisa berenang, tapi tergila-gila dengan sungai dan lautan. Mungkin karena rumahku tepat di depan sungai Martapura. Tapi bisa juga karena sejak bisa berjalan, Papa sudah terlalu sering mengajakku bermain-main di air.

Hari itu hari libur. Papa mengajakku ikut bersamanya naik kapal tandu agar aku bisa menemaninya bekerja. Karena kapal terlambat datang, jadilah sore itu kami menunggu dengan sabar. Mesin kapal dimatikan. Papa menurunkan jangkar. Dan kami duduk di dek depan, membiarkan lautan mengayun-ayun kami dalam ritme yang menenangkan. Papa duduk di sampingku, memainkan lagu-lagu favoritnya dengan harmonikanya. Saat Papa asyik dengan harmonikanya, aku berulang kali menjulurkan kepala ke lautan, memikirkan hal lain.

“Sedalam apa lautan ini, Pa?” tanyaku akhirnya, karena di dalam otakku yang masih minim pengetahuan, aku tak bisa menemukan berapa tepatnya dalamnya lautan yang sekarang aku arungi.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Papa malah menyuruhku melompat dari atas kapal tandu. Permintaan Papa itu jelas aku tolak. Aku tak bisa berenang. Belum bisa, maksudku. Papa diam saja, meletakkan harmonika, kemudian berdiri. Kupikir, ia akan segera menjawab pertanyaanku. Tapi yang terjadi selanjutnya benar-benar tak kusangka.

Papa melempar tubuhku ke laut! Cukup jauh jaraknya dari posisi kapal yang masih berayun-ayun. Aku berteriak nyaring karena terkejut dan takut. Sementara dari atas kapal, Papa juga ikut berteriak, “Gerakkan kaki dan tanganmu. Jangan diam. Jangan bertahan. Kamu harus bergerak!” Teriakan itu sayup-sayup kudengar dalam posisiku yang timbul tenggelam.

Aku mencoba menggerakkan kaki dan tanganku. Mengingat pelajaran berenang yang akhir-akhir ini memang sering kulakukan bersama Papa. Bergerak. Ayo, bergerak! Aku menggaungkan kata-kata itu dalam kepalaku. Memaksa kedua tangan dan kedua kakiku untuk bergerak mendekati kapal. Sesekali tenggelam. Lalu dorongan dua kaki yang bergerak kembali membuat tubuhku timbul. Mataku perih. Air mata bercampur air asin memburamkan keduanya. Tapi aku tetap berusaha bergerak. Aku kan hanya ingin tahu dalamnya laut, bukan untuk mati tenggelam di laut. Kurang sedikit lagi. Sedikit lagi, raungku dalam kata-kata acak di dalam kepalaku. Nyatanya, aku tak kunjung mencapai kapal. Akhirnya Papa melompat. Menangkap tubuhku yang perlahan tertelan lautan, kemudian membawaku kembali menaiki kapal.

Aku menangis, sekaligus lega, karena Papa tak sungguh-sungguh membuangku ke lautan. Papa hanya ingin aku mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaanku.

Papaku kejam? Dulu, aku pun berpikir begitu karena sulit bagiku merasakan kasih sayangnya dibalik tindakan-tindakannya yang membuatku “merana”.  Kejadian “dilempar” ke lautan cukup traumatis buatku untuk beberapa saat, tetapi di saat yang sama kejadian itu pula yang memacuku untuk cepat bisa berenang, berjaga-jaga kalau suatu hari dilempar ke lautan lagi, aku sudah bisa berenang.

Hingga menginjak usia remaja, aku masih berpikir kejadian itu adalah cara Papa untuk mengajariku mencari tahu segala sesuatunya sendiri. Sesudah masuk ke dunia kerja dan mendapati ada lebih banyak “kejadian kejam” dalam kehidupan, aku akhirnya sadar. Papa tidak mengajariku untuk mencari tahu sendiri dalamnya lautan. Papa mengajariku untuk mencari jalan, demi menemukan jawaban, demi bisa terus hidup, demi melanjutkan perjalanan di dunia yang tak pernah bisa ditebak.

Ya, Papa mengajariku cara menemukan jalan untuk tetap hidup, bukan bertahan hidup. Caranya tentu saja dengan terus bergerak!

Note: foto pinjam di https://www.pexels.com

Perjalanan

Hidup adalah perjalanan, seperti ketika Papa mengajakku berkendara dari satu tempat ke tempat lain. Hari ini aku diajak menyusuri jalan setapak persis di pinggir Sungai Martapura. Lusa, aku diajak berjalan menyusuri tanah penuh bebatuan di Batu Kambing. Minggu depannya, aku dibawa lagi ke tempat yang berbeda, memasuki hutan belantara gelap gulita. Menahan ketakutan demi ketakutan yang bertalu-talu di dalam dada dan belajar untuk percaya pada Dzat yang tak nyata, namun ada.

Bulan depannya, bukan daratan lagi yang aku jelajahi, melainkan lautan tak bertepi. Melihat biru di mana-mana, di langit dan ketika aku menundukkan kepala. Aku diminta menikmati ayunan kapal yang membabi buta di tengah tingginya gelombang. Apakah kau tahu rasanya disuruh menikmati indahnya perjalanan, sementara isi perut minta dimuntahkan?

Dari setiap perjalanan, aku tahu tak ada yang namanya perjalanan yang benar-benar mulus. Ketika menuju hutan belantara waktu itu, truk Papa sempat mogok. Waktu ke pelosok daerah dengan jalan tanpa aspal, dua ban belakang truk terbenam, tak bisa bergerak, hingga pertolongan penduduk setempat datang dan kami pun bisa melanjutkan perjalanan. Saat naik kapal pandu menuju batas lautan untuk menarik kapal ke pelabuhan, terpaan angin dan gelombang menghambat laju kapal, memabukkan dan membuat mual. Pusing di kepala bahkan tetap tertinggal hingga kaki menjejak ke daratan.

Perjalanan…,
Memang tak selalu mulus dan sesuai keinginan, tapi di setiap langkah yang dilakukan di perjalanan itu ada banyak hal yang bisa disyukuri bahwa aku hidup untuk menikmati semua itu. Di perjalanan paling sulit pun akan selalu ada peluang yang menunggu untuk ditaklukkan, teman berbagi agar perjalanan lebih ringan, dan kesuksesan yang menunggu di ujung jalan.

Hari ini hari baru di tahun baru.
Puluhan bahkan ribuan perjalanan telah menanti tuk dilalui.
Sanggupkah aku (dan juga kamu) meneruskan perjalanan ini?
Bisakah kita mencapai impian di ujung jalan sana?